Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Muslim Rohingya. Yes, it’s Genocide

  • Sabtu, 04 Agustus 2012
  • wisazi
  • Label: , ,
  • Beberapa waktu belakangan ini dunia diramaikan oleh berita tentang kekerasan yang terjadi pada Muslim Rohingya di Arakan Utara, Myanmar, yang merupakan etnis minoritas di negara yang baru mengalami reformasi pemerintahan. Sejak kekuasaan Junta Militer berakhir dan pemilu dimenangkan oleh partai oposisi pemerintah pro demokrasi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, kabar tentang kekerasan Muslim Rohingya pun mulai berhembus ke langit dunia.

    Di Indonesia, berbagai pihak mengecam aksi kekerasan tersebut, bahkan Presiden SBY didesak untuk memberikan suaka politik bagi 82 Muslim Rohingya yang telah mengungsi di Tanjung Pinang selama lebih dari 10 bulan. (Republika, 25 Juli 2012)

    Padahal, penindasan terhadap Muslim Rohingya sudah lebih dari 60 tahun lalu, bahkan sebelum Myanmar merdeka dari Inggris. Dianggap bukan etnis asli Myanmar, Muslim Rohingya mendapat perlakuan diskriminasi dari pemerintah Junta Militer dan rakyatnya sendiri. Burma, dihuni hampir 90% pemeluk agama Budha Theravada, 4% memeluk agama Islam, 4% lainnya beragama Kristen dan sisanya beragama Hindu dan Yahudi.

    Muslim Rohingya merupakan komunitas yang terasing, baik karena kondisi geografi Arakan yang terisolir maupun kebijakan pemerintah pusat yang sengaja mengasingkan diri dari dunia internasional. Muslim Rohingya merupakan muslim keturunan Bengal yang penerus-penerusnya menetap dan menjadi bagian dari warga Arakan. Namun, walaupun mereka telah bergenerasi-generasi tinggal di Arakan, muslim Rohingya tetap dianggap sebagai masyarakat asing yang datang dari negara Pakistan sebagai imigran ilegal sehingga mereka mengalami ketidakadilan atas agama, suku dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas.

    Arakan, yang pada asal mulanya dinamakan Rohang, merupakan sebuah bangsa yang berdiri sendiri sejak awal mula sejarah bangsa itu dikenal. Oleh karena itulah, mereka dinamakan orang Rohangya, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Rohingya. Arakan itu sendiri merupakan kata jamak dari rukn, berasal dari kata bahasa Arab yang artinya ‘tiang-tiang’. Kata tersebut mencirikan keislaman dari etnis Rohingya. Rohang, adalah sebutan kata Arakan sebelumnya. Arakan merupakan tempat yang cukup terkenal bagi para pelaut Arab sebelum adanya Islam. Saat itu, banyak orang-orang, seperti Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit, dan ulama. Mereka datang melalui jalur darat dan laut. Oleh karena itu, muslim Rohingya yang menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7 dan mereka tidak terbentuk dari satu suku saja. Mereka terbentuk dari percampuran berbagai suku yang berbeda.

    Diperkirakan, pemerintahan Myanmar telah melakukan paling tidak 13 operasi bersenjata melawan Rohingya semenjak tahun 1948. Mereka melucuti senjata, menutup sekolah agama, dan membakar masjid-masjid. Pada 1975, sekitar 15.000 penduduk muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh, untuk melarikan diri dari penganiayaan. Pada 1978, operasi militer masif, yang dikenal dengan nama Operasi Naga Min, memaksa sekitar 200.000 Rohingya untuk keluar dari Myanmar. Operasi tersebut meliputi relokasi paksa muslim disertai  pemerkosaan, pemaksaan, dan penggusuran masjid. Rezim yang berkuasa menyalahkan kelompok pengacau Bengal atas kejadian itu.

    Tidak lama setelah operasi Naga Min berlangsung, pada tahun 1982, penguasa militer Myanmar mengeluarkan sebuah dekrit tentang Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar. Di dalam undang-undang tersebut, muslim Rohingya dicoret hak kewarganegaraannya dan mereka menjadi tidak mempunyai negara (stateless). Ne Win memaklumatkan bahwa muslim Rohingya adalah rakyat tanpa negara (people without state).

    Padahal, status warga negara sangat penting bagi penduduk muslim Rohingya. Dengan memperoleh status warga negara, mereka bisa memperoleh kemudahan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Kebijakan itu telah menyebabkan kaum muslim Rohingya semakin mengalami penindasan, penyiksaan, tekanan, dan kematian di tangan penguasa tirani militer Myanmar. Pembunuhan yang tidak terhitung jumlahnya, pelecehan terhadap wanita Islam, tindakan penangkapan yang sewenang-wenang, pengurungan dalam penjara, serta perlakuan dengan cambuk, sampai hukuman mati yang semena-mena. Selain itu, pemerintah juga menghilangkan segala ciri yang berbau keislaman. Sehingga, muslim Rohingya dilarang untuk memelihara janggut, memakai kopiah dan penutup kepala yang lain, serta memakai jilbab (tutup kepala bagi wanita). Akibatnya, sekitar 20.000 muslim Rohingya dibunuh oleh rezim militer di antara tahun 1962 sampai tahun 1984.

    Secara umum, pemerintah sebenarnya mencanangkan kebijakan untuk memberi kebebasan kepada penduduk dalam menjalankan agama mereka masing-masing. Pada kenyataannya, pemerintah menerapkan banyak larangan, khususnya terhadap kelompok minoritas. Kitab suci Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, tidak dapat diimpor secara legal. Izin untuk mendirikan masjid sangat sulit didapatkan.
    Dalam hal bepergian ke luar negeri seperti menjalankan ibadah haji atau menghadiri pertemuan keagamaan dengan luar negeri sebenarnya diperbolehkan. Namun, pembatasan dan pengawasan yang ketat serta kesulitan lain menghadang kelompok minoritas muslim ini. Seperti, pembatasan masa berlakunya visa, sulitnya pengurusan paspor, dan kecurigaan atas segala kegiatan yang dilakukan oleh kelompok minoritas muslim di dalam dan di luar negeri. Contoh perlakuan yang dilakukan pemerintah Myanmar pada tahun 1962, tentang aturan pembatasan haji. Pada tahun tersebut, jamaah haji Myanmar berkisar sampai 500 orang. Namun dengan adanya kebijakan uang ketat di era pemerintahan militer, jumlah tersebut turun drastis menjadi rata-rata hanya 16 orang. Itu pun hanya diberikan kepada orang-orang tua yang belum pernah pergi haji.

    Pada tahun 1989, pemerintah militer Myanmar mengeluarkan kartu identitas baru untuk penduduk. Kartu identitas tersebut tidak hanya memuat foto, nama orang tua, dan alamat, tetapi juga memuat asal suku bangsa dan agama. Kartu identitas baru itu harus selalu dibawa ke manapun mereka pergi. Kartu itu juga dibuat sebagai persyaratan jika ingin membeli tiket untuk bepergian, mendaftarkan anak di sekolah, melamar pekerjaan, termasuk semua kedudukan sebagai pegawai negeri, menjual atau membeli tanah, dan kegiatan sehari-hari lainnya.

    Muslim Rohingya tidak diperbolehkan memiliki kartu identitas tersebut. Hal itu membuat mereka mengalami kesulitan bila akan bepergian. Mereka diperkenankan bepergian, setelah memperoleh izin dari pihak yang berwenang. Dalam banyak kasus, izin perjalanan hanya diberikan untuk 12 jam saja dan hanya pada kasus tertentu seorang muslim diberikan izin perjalanan sampai bisa menginap. Untuk perjalanan yang jauh, mereka sulit mendapatkan izin. Kesulitan memperoleh izin perjalanan itu menyebabkan masyarakat Rohingya sulit memperoleh pekerjaan, terutama pada musim panas, ketika pekerjaan pertanian menurun. Muslim Rohingya hidup dalam kamp konsentrasi dengan tidak mempunyai akses untuk bekerja, tidak ada peluang untuk berdagang dan bisnis, serta tidak ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Bahkan, hak menikah pun dilarang. Muslim yang berjanggut tidak boleh menggunakan transportasi umum atau memasuki kantor-kantor pemerintah. Sementara muslim yang bukan penduduk Akyab (ibukota Arakan) dilarang memasuki kota itu dan kota Rangoon.

    Dengan berbagai tekanan, muslim Rohingya pun melakukan perlawanan atas kekerasan yang mereka terima. Mereka menuntut kepada pemerintah untuk menjadikan Arakan Utara (Buthidaung, Maungdaw, dan sebagian Rathedaung) sebagai wilayah otonomi bagi muslim Rohingya di bawah pemerintahan Myanmar terlepas dari dominasi mayoritas umat Budha. Namun, tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah Myanmar. Akibat kekecewaan dan tekanan yang dialami muslim Rohingya, mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan pun semakin berkembang ketika banyak tokoh-tokoh Rohingya, seperti Jafar Kawal dan Cassim turut mengobarkan semangat untuk menuntut keadilan bagi muslim Rohingya.

    Pemberontakan muslim Rohingya selama dua periode pemerintahan Myanmar, masa U Nu (1948 – 1962) dan masa Ne Win (1962 – 1988) mengalami perbedaan motif penyebab terjadinya penindasan oleh kedua pemerintah tersebut. Pada masa pemerintahan U Nu muslim Rohingya ditindas oleh mayoritas Budha karena muslim Rohingya menganut agama Islam, agama yang dianggap bukan agama asli Myanmar. Sedangkan pada masa pemerintahan junta militer, muslim Rohingya ditindas karena sistem pemerintahan junta militer yang mengeluarkan berbagai kebijakannya yang sangat merugikan muslim Rohingya.

    Pada masa pemerintahan Ne Win, pihak yang bertikai adalah muslim Rohingya dengan gerakan Mujahid, Rohingya Independence Front, dan gerakan-gerakan yang lainnya yang dipimpin oleh Jafar Kawwal, Cassim, Jafar Habib, Zafar Sani, dan pemerintah junta militer Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Pemerintah yang menganut sistem militer merupakan pemerintah yang berkuasa dengan cara paksaan dan tekanan dengan kekuatan militer dan kebijakan-kebijakan sepihak. Gerakan Mujahid setelah Ne Win berkuasa dibubarkan. Muslim Rohingya yang lain semakin mengalami penderitaan akibat penindasan yang tidak berperikemanusiaan. Setelah pembubaran gerakan Mujahid, berdirilah gerakan-gerakan lain sebagai wadah aspirasi muslim Rohingya yang memiliki tujuan yang sama dengan Mujahid, menuntut wilayah otonomi Islam untuk daerah Arakan Utara.

    Sejak Myanmar merdeka sampai Ne Win tidak lagi menjadi pemimpin Myanmar, tuntutan muslim Rohingya hanya tinggal tuntutan, sekedar keinginan yang tidak pernah terpenuhi. Hal itu terlihat pada konvensi bangsa Rohingya yang terbentuk pada tanggal 14 – 16 Mei 2004 di Arakan. Diantara isi deklarasi tersebut adalah menyatakan bahwa Rohingya merupakan salah satu etnis kebangsaan Myanmar, dan mereka memiliki hak-hak tersendiri serta mengecam pemerintah Myanmar karena telah membatasi gerakan kebebasan sosial, ekonomi, kebudayaan dan aktivitas keagamaan Rohingya. Namun, deklarasi ini tidak membawa pengaruh banyak terhadap nasib muslim Rohingya, mereka tetap ditindas oleh junta militer yang masih terus berkuasa di Myanmar. Hal tersebut terbukti pada 26 April 2006 ditemukan sebuah kapal yang mengangkut 77 warga muslim Rohingya terdampar di Pulau Rondo, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka terpaksa meninggalkan negaranya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, karena selama ini di Myanmar mereka sangat sulit memperoleh pekerjaan. Kelompok yang semula ingin menuju ke Malaysia ini mengaku tidak ingin kembali ke negara asal mereka. Muslim Rohingya sendiri bisa memberikan banyak informasi tentang keadaan mereka melalui organisasi Arakan Rohingya National Organization (ARNO), organisasi muslim Rohingya yang terus berjuang sampai sekarang. Sampai saat ini perjuangan muslim Rohingya untuk memenuhi tuntutannya tidak pernah berhasil, tuntutan mereka tidak pernah mencapai titik hasil yang signifikan.

    Begitulah Muslim Rohingya, selalu ditindas dari masa ke masa. Siapapun pemimpin kekuasaan mereka tak luput dari kekerasan. Bahkan ketika Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu pemerintahan, tak mampu berbuat banyak. Lebih memilih diam cari aman. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu pendiri negara ASEAN hanya mampu menyampaikan kecaman. Kalah jauh dengan lembaga-lembaga kemanusiaan yang sudah berbuat nyata dengan mengumpulkan sumbangan.

    Di segala sudut belahan dunia, apapun latar belakang suku dan agama, genosida tak boleh dibiarkan. Perlahan tapi pasti korban tewas di Arakan Utara terus berjatuhan. Jumlah angka kematian semakin memilukan. Yes, it’s genocide.

    Sumber: Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma 1948 - 1988. Azizah. FIB UI. 2006 

    *) Yes, It's Genocide. Diambil dari judul lagu Serj Tankian (vokalis System of A Down) album Imperfect Harmonies.

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...